25 Julai 2009

Perkara Halal Haram

DASAR pertama yang ditetapkan Islam, ialah bahawa asal sesuatu yang dicipta Allah adalah halal dan mubah(harus). Tidak ada satupun yang haram, kecuali datang nas yang sah dan tegas dari syara' (yang membuat hukum itu sendiri, yaitu Allah dan Rasul) yang mengharamkannya. Kalau tidak ada nas yang sah, misalnya kerana ada sebagian Hadis lemah-- atau tidak ada nas yang tegas (Soreh) yang menunjukkan haram, maka hal tersebut tetap sebagaimana asalnya, yaitu mubah.

"Rasulullah s.aw. pernah ditanya tentang hukumnya samin, keju dan keldai hutan, maka jawab beliau: Apa yang disebut halal ialah: sesuatu yang Allah halalkan dalam kitabNya; dan yang disebut haram ialah: sesuatu yang Allah haramkan dalam kitabNya; sedang apa yang Ia diamkan, maka dia itu salah satu yang Allah maafkan buat kamu." (Riwayat Tarmizi dan lbnu Majah)

Rasulullah tidak ingin memberikan jawapan kepada si penanya dengan menerangkan satu persatunya, tetapi baginda mengembalikan kepada suatu kaedah yang kiranya dengan kaedah itu mereka dapat diharamkan Allah, sedang lainnya halal dan baik.

Dan sabda Rasullah lagi,

"Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajipan, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia." (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)

Di sini jelaslah kaedah asal segala sesuatu adalah halal ini tidak hanya terbatas dalam masalah benda, tetapi meliputi masalah perbuatan dan pekerjaan yang tidak termasuk daripada urusan ibadah, yaitu yang biasa kita istilahkan dengan Adat atau Mu'amalat. Pokok pangkal, dalam masalah ini tidak haram dan tidak terikat, kecuali sesuatu yang memang oleh syaria' sendiri telah diharamkan dan dikonkritkannya sesuai dengan firman Allah:

"Dan Allah telah memerinci kepadamu sesuatu yang Ia telah haramkan atas kamu." (al-An'am: 119)

Ini, adalah kerana hakikat AGAMA @ IBADAH-- itu tercermin dalam dua hal, yaitu:

1. Hanya Allah lah yang disembah.
2. Untuk menyembah Allah, hanya dapat dilakukan menurut apa yang disyariatkannya.

Oleh kerana itu, barangsiapa mengada-ada suatu cara ibadah yang timbul dari dirinya sendiri --apapun macamnya-- adalah suatu kesesatan yang harus ditolak. Sebab hanya syari'lah yang berhak menentukan cara ibadah yang dapat dipakai untuk bertaqarrub kepadaNya.

Adapun masalah Adat atau Mu'amalat, sumbernya bukan dari syara', tetapi manusia itu sendiri yang menimbulkan dan mengadakan. syara' dalam hal ini tugasnya adalah untuk membetulkan, meluruskan, mendidik dan mengakui, kecuali dalam beberapa hal yang memang akan wujud kerosakan dan mudharat.

Tiada ulasan: